Demokrasi Omong Kosong Negeri Jiran .:. Oleh Ahmad Sahidah

Sesumbar Anwar Ibrahim untuk menggulingkan pemerintahan Abdullah Badawi tidak menjadi kenyataan. Dalam jumpa pers, Anwar menegaskan bahwa dirinya sebenarnya mempunyai angka yang cukup, 31 anggota parlemen Barisan Nasional yang akan melompat, untuk membentuk pemerintahan baru. Namun, untuk mewujudkan peralihan kekuasaan secara damai, Pakatan Rakyat menundanya dengan berupaya berunding dengan pemerintah yang berkuasa.

Respons Pak Lah, panggilan akrab perdana menteri yang berkuasa sekarang, penggulingan kekuasaan itu hanya fatamorgana (mirage) dan itu adalah sebuah pembohongan politik. Tanggapan yang lebih keras berasal dari Muhammad Muhd Taib, ketua penerangan UMNO (United Malays National Organization), bahwa tindakan Anwar mengambil alih kekuasaan dari ”pintu belakang” tersebut tidak bermoral. Perilaku semacam itu sebuah pertanda bahwa tokoh reformasi tersebut merupakan orang yang tamak kekuasaan. Mohammad Najid, wakil perdana menteri, menyebutnya sebagai political deception (penipuan politik).

Pada malam itu juga, RTM 1, media televisi pemerintah, mengangkat persoalan di atas dalam program ISU yang ditayangkan pada pukul 9.30 malam secara langsung. Panelis yang diundang adalah Ibrahim Ali, anggota DPR dari wakil bebas; Fadilah Yusof, wakil menteri sains dan teknologi; serta Razali Ibrahim, anggota DPR daerah pemilihan Muar sekaligus ketua Pemuda UMNO Johor. Anehnya, tidak ada panelis dari wakil Pakatan Rakyat dalam acara itu. Sebuah perbincangan yang nyata-nyata telah direkayasa untuk membentuk opini publik bahwa Anwar adalah penipu.

Demokrasi Seolah-olah

Ibrahim Ali menegaskan bahwa kehendak Anwar Ibrahim untuk melenggang ke Putrajaya adalah omong kosong. Wakil DPR dari Pasir Mas Kelantan tersebut menyatakan, itu adalah strategi Anwar untuk memenangi pemilihan umum sela di Permatang Pauh, yang memang menjadi kenyataan. Dengan taktik semacam itu, masyarakat di konstituen tradisional Anwar diharapkan terbuai oleh bujuk rayu Anwar bahwa calon yang mereka pilih akan menjadi perdana menteri.

Selain itu, Anwar mengangkat isu tersebut untuk menutupi masalah internal Pakatan Rakyat yang belum kukuh. Bagaimanapun, komponen dalam koalisi tersebut sangat longgar. Partai Islam se-Malaysia (PAS) bersikeras untuk memperjuangkan berdirinya negara Islam dan Democratic Action Party (DAP) menentang mati-matian ideologi eksklusif semacam itu. Demikian pula, Partai Keadilan Rakyat yang bercorak sosialis mengandaikan ide multikulturalisme dengan wakil dari berbagai etnik, Melayu, Tionghoa, dan India.

Celakanya, moderator talk show tersebut, Dato Ibrahim Yahya, mencoba mengarahkan diskusi untuk menyudutkan Anwar Ibrahim. Malah seorang penelepon dari Sabah, Fadil, yang menyatakan bahwa gonjang-ganjing itu diakibatkan oleh lemahnya UMNO dan pada masa yang sama menegaskan bahwa preseden lompat partai pernah terjadi pada 1990-an, saat itu UMNO ”membeli” anggota parlemen dari Partai Bumiputera Sabah (PBS) untuk menyertai Barisan Nasional, dihentikan sebelum yang bersangkutan mengakhiri pertanyaannya. Tampak bahwa acara itu tidak lebih dari propaganda, sebagaimana sering dilakukan rezim otoritarian terhadap kebebasan berekspresi.

Keprihatinan

Yang lebih memprihatinkan adalah pelibatan pemirsa melalui pengiriman sms yang ditayangkan di dalam teks berjalan (running text) di bawah layar televisi. Alih-alih upaya itu menyuburkan tradisi berdiskusi yang sehat, ia malah menjadi penghakiman in absentia terhadap Anwar Ibrahim.

Saya memperhatikan, kebanyakan sms yang ditayangkan merupakan hujatan terhadap mantan wakil perdana menteri tersebut dengan menyebutnya tukang sodomi (di sana disebut kaki liwat), setan di bulan Ramadan, dan kata-kata lain yang tidak pantas diterakan di sini.

Padahal pada detik itu juga, Fadilah Yusof mengungkapkan bahwa apa yang dilakukan Anwar Ibrahim telah melanggar sistem demokrasi, mengabaikan nilai, prinsip, dan amanah. Lalu, mengapa kata-kata penghujatan diloloskan dalam media publik, sementara yang diungkapkan bukan sebuah kebenaran pada masa ini?

Malah, sms yang saya kirimkan tidak ditayangkan yang berbunyi: Demokrasi? Tapi, mengapa tidak ada wakil dari Pakatan Rakyat? Tidakkah rancangan (baca program) ini adalah juga omong kosong? Sementara itu, sms yang dikirimkan Anita dari Kuala Lumpur malah ditayangkan hingga lebih dari sekali, meski dengan kalimat yang sama.

Mungkin, karena isinya menyatakan dukungan kepada Pak Lah, SMS itu nangkring dengan manis di layar kotak kaca. Padahal, demokrasi, kata Robert Dahl (1971: 1-3), mensyaratkan hak memberikan suara, hak para pemimpin politik untuk berkompetisi secara sehat merebut dukungan suara, dan tersedianya sumber informasi.

Adalah tidak berlebihan jika Francis Loh Kok Wah, dosen ilmu politik Universitas Sains Malaysia, di dalam Politik Multikulturalisme: Menggugat Realitas Kebangsaan (2007:300) menyimpulkan bahwa wacana demokratis tidak akan dengan mudah menang dan menguasai pikiran semua sektor dari masyarakat Malaysia karena wacana developmentalisme telah menyandera mereka. Tidakkah alasan demokrasi yang digunakan para seteru Anwar juga omong kosong? Demikian pula upaya Anwar untuk membujuk anggota parlemen, hakikatnya, menegaskan hal yang sama. Pendek kata, demokrasi di Malaysia adalah omong kosong. (**)


Kandidat doktor Universitas Sains Malaysia

Leave a comment